“Dongeng Rangkas” dalam 3rd DMZ-Docs, Festival Dokumenter Internasional Korea.
25 September 2011, Paju, Korea Selatan. Dongeng Rangkas mendapat kesempatan dipresentasikan secara khusus dalam Program ‘Asian Perspective’ di 3rd DMZ-Docs (Festival Dokumenter Internasional Korea). Sebuah kesempatan pertama film ini diputar secara perdana untuk dunia.
[1] Dari brosur Paju Bookcity, 2011
Kotabuku Paju, Sebuah Kota Untuk Memulihkan Sisi Kemanusiaan Yang Hilang.1
Kotabuku, terletak di sisi jalan dari Jalan Bebas Hambatan Jayu menuju Paju (di barat-laut kota Seoul), adalah komunitas budaya-penerbitan. Proyek Kotabuku dirancang untuk membangun sebuah kota industri khusus untuk buku-buku termasuk perencanaan, penerbitan dan pendistribusian oleh penerbit-penerbit. Diinisiasi pada 5 September 1989 dan mulai dibangun pada 30 Juni 1999, dengan harapan ‘Untuk memulihkan sisi kemanusiaan yang telah hilang. Kota Buku, maka dari itu, haruslah menjadi ruang untuk orang-orang’.
3rd DMZ-Docs, Festival Dokumenter Internasional Korea 2001
[2] Korean Demilitarized Zone (Zona Demiliterisasi Korea), segaris tanah yang melintasi Semenanjung Korea yang berfungsi sebagai zona penyangga antara Korea Utara dan Korea Selatan. DMZ memotong kira-kira setengah dari Semenanjung Korea. Panjangnya 250 kilometer, kira-kira lebarnya 4 kilometer dan itu adalah perbatasan militer terbesar di dunia. Northern Limit Line (NLL—Garis Batas Utara) adalah batas maritim de facto antara Koea Utara dan Korea Selatan di Laut Kuning dan pesisir pantai serta pulau-pulau di kedua sisi NLL juga sangat demiliterisasi. –wikipedia.
Kali ketiga, DMZ-Docs diadakan di Paju Bookcity. “DMZ2, merepresentasikan negara kita dari gencatan senjata, adalah sebuah lokasi dimana kita menyadari nilai sebenarnya dari ‘perdamaian’ dan ‘komunikasi’. Kami kadang cenderung melupakan nilai-nilai ini. Ini adalah alasan untuk memiliki festival dokumenter di DMZ. Melalui kekuatan dokumenter, kita kembali akan menyadari nilai perdamaian dalam ruang DMZ. Festival Dokumenter Internasional Korea DMZ adalah di mana ruang dari kemungkinan (DMZ) bertemu dengan film tentang kemungkinan (Dokumenter melalui pertemuan ini, anda akan dapat mengalami pengalaman tak berbatas dari nilai-nilai anda” (Dikutip dari katalog resmi 3rd DMZ-Docs).
Didukung penuh oleh Kementerian nasional, Provinsi dan Kota, DMZ diadakan dengan megah dan beberapa perayaan serta pesta para pembuat dokumenter di Paju Bookcity. Dengan sedikit menyesal, dalam perhelatan besar seperti ini hanya sedikti pengunjung rata-rata yang dapat dilihat dalam menonton dan mendatangi festival ini. Memang Paju Bookcity sekitar 45 menit dengan bis dari kota Kota Seoul, terlalu jauh untuk disambangi terlebih disini tidak adanya tempat tinggal penduduk, hanyalah bangunan-bangunan perkantoran. Sesekali saya dan kawan-kawan bertanya ketika berkesempatan plesiran ke Kota Seoul, beberapa orang yang kami temui di sana bahkan tidak tahu Kota Paju, yang terletak di provinsi Gyeonggi. Mungkin ada alasan tersendiri panitia mengadakan festival di sini tiga kali berturut-turut. Dengan sebagian besar penayangan film-film di Cinus Eche, sebuah teater sinema dengan 9 studio dan aula besar dengan total 1636 kursi.
Melihat isu-isu Asia melalui mata Asia
Adalah benar bahwa Barat telah menjadi kekuatan utama dalam film dokumenter dunia. Dengan pemikiran ini, menganalisa masalah-masalah lokal yang tertunda dan sejarah lokal melalui sudut pandang lokal menjadi sangat penting. Dengan memperkenalkan berbagai dokumenter dari Asia ke penonton Korea, program ini menanggapi tuntutan-tuntutan itu dengan menyediakan sebuah ruang dan jaringan untuk pembuat film dokumenter lain dari Asia untuk bertukar pandangan kultural mereka.
Dongeng Rangkas ditayangkan dalam program ini, Asian Perspective. Bersama dengan film lainnya yang ditayangkan untuk umum dua kali dalam seminggu, sesuai jadwal; 5 Minutes to Fame Ah… Ah… Ah (Indonesia), Anyang, Paradise City (Korea), Director Disqualified (Jepang), Dragon Boat (Cina), Games and Peace (India), Lumpinee (Thailand), Refrains Happens Like Revolutions in a Song (Filipina), Hard Rails Across a Gentle River (Vietnam), The Temple of Hemp Valley (Korea).
Tepat pukul 11.00 waktu setempat (Jakarta, lebih lambat 2 jam dari Paju), menuju siang hari dengan udara yang sedang beradaptasi dengan masuknya musim dingin di Bulan November nanti, Dongeng Rangkas ditayang perdana kepada dunia di Korea. Untuk cerita-cerita Dongeng Rangkas silahkan kunjungi tautan ini. 25 September 2011, hari ini menjadi penting bagi kami para sutradara Dongeng Rangkas. Pertama, karena yang telah tersebut di atas, dan kedua, dua orang sutradara Dongeng Rangkas dari sebuah kota kecil di barat kota Jakarta, Badrul Munir dan Fuad Fauji untuk pertama kalinya berpetualang ke luar Indonesia. Kami berlima, termasuk saya, Mira Febri Mellya dan Syaiful Anwar menghadiri penayangan ini.
Jika dibagi 9 studio dari 1636 kursi yang ada di Cinus Eche, maka sekitar 180an kursi di tiap studio. Penayangan ini ditonton sekitar setengah dari total kursi yang tersedia. Cukup penuh, walau ada yang keluar di tengah penayangan, dan permasalahan subteks Bahasa Inggris dan Korea yang mereduksi beberapa bagian dari film ini. Secara keseluruhan para penonton senang dengan tontonan ini, sebuah cara baru, apalagi di Korea untuk membuat dokumenter, kata sang moderator diskusi setelah penayangan. Kurangnya tawa penonton dalam penayangan ini, membuat suasana menonton jadi berbeda dengan di Indonesia, dan hal ini membuat saya menjadi terpusat pada permasalahn subteks yang terjadi ketika saya menonton film-film lainnya. Tapi, percayalah dengan gambar yang ada dalam film ini, biarkan pikiran anda berimajinasi dan memiliki multi-interpretasi, begitu jawab saya ketika seorang penonton menanyakan tentang bagaimana cara menonton dokumenter.
Selama kurang lebih 90 menit berikut iklan film ini berlangsung, setelah itu diskusi pun dimulai. Dengan sorang moderator dan seorang penerjemah yang juga kawan baru kami yang sangat baik, kami bereempat, Badrul, Fuad, Saya dan Syaiful tampil di depan forum. Dengan bangga kami berbahasa Indonesia, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan penonton.
“Bagaimana bisa kalian menyatukan kelima sutradara dalam satu film? Biasanya hanya satu atau dua orang saja?”, tanya seorang penonton.
[3] Program akumassa digagas oleh Forum Lenteng sebagai sebuah program pemberdayaan komunitas dengan berbagai media komunikasi, antara lain: video, teks, dan suara. akumassa memiliki strategi: penggerakan motivasi, memproduksi karya, pendokumentasian, berkelanjutan, pemberdayaan medium filem dan video, berbagi informasi serta merekam potensi lokal dengan cara berkolaborasi dengan komunitas dampingan selama satu bulan.
“Sulit!”, jawab Badrul. Tentu saja kami memiliki proses yang panjang dalam pembuatan dokumenter ini. Riset yang dilakukan dalam program akumassa3 sudah berlangsung hampir 3 tahun di komunitas kami (Saidjah Forum) di Rangkasbitung, lokasi dimana film ini diproduksi. Dan bukan dengan tiba-tiba kami menemukan dua orang tokoh tersebut. Iron adalah kawan lama kami dan satu tongkrongan band di Rangkas, Kiwong adalah adik kandung saya. Rentang Juni-Juli 2011 kami membuat film ini, dengan perdebatan dan sudut pandang masing-masing tentunya. Tapi semua bisa dikendalikan dalam diskusi-diskusi usai perekaman gambar, lalu di saaat penyuntingan film dengan Hafiz di Jakarta, titik-titik itu mulai menjadi satu alur.
“Kenapa waktu riset cukup lama? 3 tahun? karena di sana adalah teman2 sendiri?”, tanya Trinh, seorang kawan dari Vietnam.
Badrul menjawab dengan menjelaskan program akumassa, dimana tiap dua tahun, Forum Lenteng melakukan pengembangan lanjutan dengan komunitas-komunitas rekanan akumassa yang sudah melalui masa 2 tahun semenjak program akumassa dimulai. Nah, filem Dongeng Rangkas ini adalah salah satu bagian dari program lanjutan itu. Riset-riset itu sebenarnya berasal dari tulisan kawan-kawan yang ada di www.akumassa.org. Kami hanya mengambil sebagian kecil dari tulisan dan riset itu, ditambah dengan sedikit ide cerita dari Syaiful tentang Iron dan musik.
Beberapa bertanya tentang latar belakang sutradara yang bukan dari studi film, Saya dan Badrul menjelaskan jika di organisasi kamipun, kami memulai studi itu sendiri dari 2003. Dengan menonton, berdiskusi, membuat riset dan karya, trial and error, mendatangkan beberapa kawan yang ahli di bidangnya untuk berbioncang dengan kami, serta mendatangi beberapa perhelatan seperti ini. Pengalaman-pengalaman itu yang membuat kami dapat membuat film secara baik.
Di akhir diskusi, moderator bertanya tentang apa pesan untuk para penonton. Syaiful menjawab, “Record Yourself, Then Society.”
[…] Febri Mellya | Pada Senin, 26 September 2011 * * * Setelah sesi pemutaran filem Dongeng Rangkas [baca di sini] beserta diskusi dengan keempat dari lima sutradaranya; Andang Kelana, Badrul Munir, Fuad Fauji, […]
Bang Andang, si Trinh yang bertanya itu apakan Trinh Min H yang membuat film dokumenter Reassemblage???
bukan, temen ketemu disana… hehe..
-ankel-
[…] berkelana di Korea Selatan dalam perhelatan 3rd DMZ-Docs Korean International Documentary Festival, kini Film Dongeng Rangkas diundang dalam kegiatan CPH:DOX 2011 di Copenhagen, Denmark pada […]
[…] Rangkas termasuk dalam kategori Asian Prespective, diputar pada hari Minggu, 25 September 2011 [baca di sini] disertai sesi tanya jawab. Cinus Eche Edutainment Mall Cinus Eche Edutainment Mall Pemutaran […]
[…] sesi pemutaran filem Dongeng Rangkas [baca di sini] beserta diskusi dengan keempat dari lima sutradaranya; Andang Kelana, Badrul Munir, Fuad Fauji, […]