Dongeng di Koran Pembungkus Tahu
Ditulis oleh Sundea dan telah terbit di http://www.salamatahari.com/ pada 15 September 2011.
—
Judul: Dongeng Rangkas (film dokumenter)
Film Produksi Bersama: Forum Lenteng, Akumassa, dan Saidjah Forum
Kolaborasi penyutradaraan: Andang Kelana, Badrul “Rob” Munir, Fuad Fauji, Hafiz, Syaiful Anwar
Follow twitter: @DongengRangkas
Di atas meja makan saya, bertumpuk benda entah apa yang dibungkus kertas koran.
“Wow, apaan, nih?” tanya saya pada Mbak yang bekerja di rumah.
“Mungkin tahu. Tadi ada yang ke sini bawa keranjang tahu, saya nggak kenal,” sahut Si Mbak.
“Orangnya nggak bilang apa-apa?” tanya saya lagi.
Mbak mencoba mengingat-ingat.
“Katanya … ini Dongeng Rangkas. Tapi saya juga nggak ngertilah,” sahut Mbak akhirnya.
Saya mengangguk-angguk.
Ketika Mbak pergi menyiram tanaman, saya menimang salah satu bungkusan tersebut. “Iya, nih, isinya tahu,” gumam saya. Membungkus tahu per tahu dengan koran sungguh kurang kerjaan adanya. Tapi … ya sudahlah, lumayan juga kan ada cemilan sore-sore.
Saya membuka salah satu bungkus tahu. Sambil mengunyah, saya mengamat-amati kertas koran berminyak yang saya biarkan terbentang di atas meja. Hei! Kok lucu, sih? Ada gambar ayam mematuki Royco rasa ayam. Ironis dan jenaka. Penasaran, saya memutuskan untuk membuka seluruh bungkus tahu satu persatu.
Ternyata pada setiap lembar pembungkus tahu terdapat potongan cerita. Tidak ada yang lengkap, namun semuanya merupakan sketsa yang menarik. Siapapun yang membungkusi tahu-tahu tersebut pasti tak sembarangan mencomot kertas koran. Saya merasakan kecermatan dan sebentuk tendensi yang tak ingin menggurui di sana.
“Sini, De, korannya saya buang sekalian,” tawar Si Mbak setelah selesai menyiram tanaman.
“Eh, jangan, Mbak, mau Dea kliping,” sahut saya.
“Hah? Kok bikin kliping dari koran bekas bungkus tahu?”
Saya nyengir sambil mengangkut koran-koran tersebut ke meja belajar.
Setelah menyusun koran-koran pembungkus tahu tersebut, kira-kira seperti inilah cerita yang bisa saya paparkan:
Alkisah di daerah Banten, terdapat sebuah daerah bernama Rangkas. Masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi punya cara sendiri berbahagia dengan kehidupan. Sebagian besar penduduknya berjualan tahu. Dijual murah sekali. Dua ribu rupiah per lima belas buah. Wow.
Iron, salah satu pedagang tahu, adalah musisi underground metal satu jari. Apa itu metal satu jari? Metal satu jari adalah aliran musik keras yang religius. Iron sendiri adalah pribadi yang unik. Ia rajin shalat namun kerap berbicara seenak bedulnya. Ia selalu bermusik untuk kepuasan batin. Iron menikah dengan pedagang toge di pasar dan menjalani sistem rumah tangga di luar konstruksi yang berlaku umum.
Beda lagi dengan Kiwong. Hidupnya naik dan turun di titik ekstrim. Ia sempat masuk pesantren, menjadi preman di kota, kemudian akhirnya dijodohkan dan hidup stabil sebagai penjual tahu. Ia jenaka dan apa adanya. Ketika ditanya untuk apa menaburkan Royco di atas tahu-tahunya, dengan santai ia menjawab, “Euweuh artian ieu teh (nggak ada artinya ini), supaya indah aja …”
Lembar yang saya anggap menutup seluruh sketsa adalah gambar kereta yang sedang bergerak. Jendelanya menghadirkan pemandangan yang berganti-ganti secara cepat.
“Ending yang metaforik,” saya bergumam sendiri. Tanpa harus didramatisasi seperti reality show televisi, sesungguhnya hidup sudah dramatis dengan sendirinya. Tanpa harus menjual air mata, kesedihan justru hadir dengan cara yang lebih liris dan elegan. Pemandangan yang berganti-ganti di jendela kereta terlihat seperti animasi. Padahal, itulah kenyataan yang sebenar-benarnya.
Ada beberapa sketsa di kertas koran yang mungkin tak terlalu jelas terbaca karena berminyak dan sedikit sobek. Tapi tak apa. Namanya juga dongeng. Saya boleh saja menceritakannya kembali dengan bahasa saya sendiri, bukan?
Saya men-stapler lembar-lembar yang sudah saya susun. Besok-besok saya akan membacakannya untuk keponakan saya sebelum ia tidur.
Pernah membaca kumpulan dongeng Hans Christian Andersen atau Grim Brothers? Saya punya kumpulan dongeng baru. Judulnya Dongeng Rangkas.
Sundea