Pemutaran Film Indie Dongeng Rangkas, Potret Generasi Transisi Banten, Dari Tahu dan Kopi, Hingga Metal Satu Jari
Artikel ini telah terbit dalam notes facebook, Fesbuk Banten News pada Kamis, 9 Agustus 2011 pukul 04:33 WIB
– –
FESBUK BANTEN News – Secara kultur, Rangkas punya ciri khas. Warganya cenderung berkarakter keras, lugas dan tegas (untuk tidak mengatakan kasar). Dari berbagai literatur yang ada, sesungguhnya peradaban Rangkas telah dibangun jauh sebelum Multatuli mencatatnya dalam buku yang monumental.
Di sana pernah hidup beberapa tokoh pergerakan. Sebut saja misalnya Tan Malaka. Letaknya yang tak lebih dari 120 Kilometer dari ibukota Jakarta, tak membuat Kabupaten yang dituliskan Multatuli itu tumbuh menjadi kota metropolis.
Di Rangkas, seakan tengah terjadi benturan budaya, antara kapitalisme yang metropolis, dengan sisa-sisa peradaban mistis yang tradisionalis dan metafisis. Dongeng Rangkas berhasil merangkum benturan budaya itu dalam dua sosok tukang tahu, yang sederhana, pekerja keras, namun punya mimpi dan kebebasan.
Siapa tak kenal Rangkas Bitung, stasiun tua di sana pernah menjadi persinggahan Soekarno di masa perjuangan kemerdekaan. Sebelumnya, Tan Malaka juga pernah merancang gerakan revolusioner dari Rangkas. Dan jauh sebelumnya, sekelompok tetua suku Sunda, yang juga punggawa di kerajaan Padjajaran, menyingkir di pegunungan Kendeng, di selatan Rangkas Bitung.
Evolusi budaya yang terjadi di nusantara, ternyata tak terlalu berpengaruh di Rangkas Bitung. Dalam film produksi Forum Lenteng dan Saidjah Forum, transisi budaya itu dikemas apik dalam keseharian dua sosok tukang tahu, Kiwong dan Iron.
Dari sudut ketokohan, Kiwong dan Iron memang bukan sosok yang menarik dan wah untuk diangkat sebagai film. Setting wilayah yang diambil, yakni stasiun Rangkas Bitung, dan perkampungan di sekitarnya juga bukan area yang seksi untuk disorot kamera. Namun para sutradara dan tim dari Forum Lenteng dan Saidjah Forum berhasil menyulap setting sederhana itu dalam bingkai ide yang layak ditonton dan jadi bahan diskusi.
Hafiz Rancajale, Badrul Munir, Fuad Fauji, Syaiful Anwar, dan Andang Kelana, cukup rapih mengemas berantaknya stasiun dan pasar Rangkas sebagai setting benturan peradaban.
“Keduanya adalah representasi sebuah generasi pasca ’98. Yang menarik bagi kami adalah posisi Rangkas yang jaraknya tak terlalu jauh dari Jakarta, tetapi sangat lambat perkembangannya. Ada begitu banyak elemen dan tatanan yang jauh tertinggal. Dalam film ini kami tak mengeksploitasi kemiskinan. Film ini bercerita tentang realita. Kami tak memproduksi kepalsuan. Ini adalah potret masyarakat kita. Ada persoalan dalam masyarakat kita, bahwa ini adalah potret kultural,” ujar Badrul Munir, mewakili para sutradara lain.
Melalui sosok Kiwong, yang alumni pesantren tradisional, punya ilmu kebal bacok, namun paham tentang perubahan kultur massa yang terjadi, para sutradara seakan ingin menyuguhkan perjuangan anak muda dalam mempertahankan tradisi di lingkungan yang terkungkung kapitalisme global.
Kiwong yang pernah terjerumus dalam jejaring mafia dan premanisme yang dibangun para jawara Banten di Jakarta, mengaku bahagia sebagai tukang tahu. Dia juga sadar, bahwa di era supremasi hukum sekarang ini, yang Berjaya bukan lagi mereka yang kebal senjata. Tapi mereka yang kebal hukum. “Teu kebal dikadek mah ulah ngaku urang Banten. Tapi kiwari mah boro-boro ek ngadek batur, nonjok hungkul geh bisa dipenjara”, begitu kira-kira pernyataan Kiwong dalam film dokumenter berdurasi 75 menit itu.
Sedikit berbeda dengan Kiwong, Iron, sosok lain dalam film tersebut, punya sisi unik tentang idealisme bermusiknya. Ia percaya aliran musik underground yang dipilihnya merupakan cerminan hidupnya yang bebas namun terkendali. Dalam salah satu dialog dalam film tersebut, Iron dengan bangga menyuguhkan keahlian bermusiknya. Ia juga begitu mendalami filosofi musik metal yang dipadu dengan ajaran islami yang diyakininya. “Saya hidup apa adanya. Aliran saya Metal Satu Jari. Metal Satu Jari itu metal yang islami, tidak mabuk-mabukan, dan taat agama,” begitu ungkapan Iron.
Banten dan Potensi Budaya yang Tinggi
Dalam sesi diskusi atas film Dongeng Rangkas, sempat muncul beberapa protes, tentang alasan para sutradara menyuguhkan sisi urban Rangkas, yang terkesan marginal dan penuh kemiskinan. Namun protes itu terbantahkan dengan kenyataan bahwa dalam film tersebut justru disuguhkan betapa gilanya semangat kerja keras kedua anak Rangkas tersebut.
Diskusi dan nonton bareng yang digelar di markas Rekonvasi Bhumi, di Jalan Joenoes Soemantri No. 4/20 RT 01/01, Kelurahan Tembong Cipocok Jaya, Serang Banten tersebut juga menguak tentang indahnya setting budaya Banten sebagai unsur eye cathing filmografi.
“Film ini diproduksi bersama oleh Forum Lenteng dan Saidjah Forum, sebagai bagian dari program Akumassa. Sebelumnya, kami telah melakukan pelatihan film selama sebulan, dilakukan bersama Saidjah Forum. Dan hasilnya, kita lihat sendiri betapa besar potensi lokal Banten dalam memproduksi film indie berkualitas. Potensinya besar banget, Banten menjadi arus perkembangan budaya film sagat besar. Dengan adanya satu dokumenter ini, mudah-mudahan ini bisa menjadi pemicu perkembangan dunia perfilman di Rangkas Bitung dan sekitarnya, “ harap Hafiz Rancajale, Badrul Munir.
Satu hal yang terbersit saat kita menonton film indie tersebut adalah, bahwa betapa banyak sisi lain di sekitar kita yang begitu menarik untuk difilmkan. (Abdul Malik Mughni / LLJ)