Ditulis oleh Ronny Agustinus
Telah terbit di Jurnal Footage pada Jumat, 29 Juli 2011 (12:20)
– –
Pada 28 Juli 2011, di GoetheHaus, saya menonton pemutaran perdana filem feature dokumenter Dongeng Rangkas (2011), produksi bersama Forum Lenteng (Depok) dengan Saidjah Forum (Lebak), yang merupakan salah satu output dari program pemberdayaan komunitas Akumassa yang dijalankan oleh Forum Lenteng. Film ini menyoroti kehidupan dua orang pedagang tahu di Rangkasbitung. Iron menjual tahu mentah (oncom serta bahan berkedelai lainnya) di pasar. Sementara Kiwong berjualan tahu goreng di kereta.
Saya hanya bisa menyarankan: tontonlah filem ini. Anda akan mendapati potret tentang realitas sosial (sekelumit) rakyat miskin Indonesia yang takkan tertayang dalam reality show atau berita-berita televisi. Kemiskinan, lazimnya, selalu ditampilkan hitam putih. Dalam program “Andai Aku Menjadi” umpamanya. Dengan dalih “mulia” untuk mengundang empati terhadap realitas sosial, program ini justru mereduksi gambaran tentang realitas sosial itu sendiri dengan formula yang selalu diulang-ulang (air mata yang dikucurkan si mahasiswa/i yang ditempatkan selama beberapa hari dalam kehidupan riil orang-orang desa atau tak berpunya) dan terutama, sikap yang menggantikan proyek emansipasi dengan kedermawanan (ketika pada akhir setiap episode selalu ada sumbangan bagi si miskin dari dermawan-dermawan kota dan kini gantian si miskin yang mengucurkan air mata). Ini, sebenarnya, tak lebih dari perpanjangan imajinasi orang kota tentang cara menjalani hidup sebagai orang miskin: serba susah, namun tetap jujur dan ikhlas, sebagaimana diilustrasikan oleh lagu D’Masiv “Jangan Menyerah” yang menjadi soundtrack program ini. Tak pernah orang miskin dalam program macam ini ditampilkan menipu atau mencuri. Padahal sebaliknya, dalam persepsi umum masyarakat kota, bersemayam suatu pandangan laten bahwa kriminalitas erat hubungannya dengan kondisi kemiskinan. Inilah yang disebut oleh sosiolog sebagai elite perceptions of the poor, kedua pandangan itu berkelindan seperti kedua sisi mata uang (Abram de Swaan, 2005).
Lanjut Baca