Arsip
Artikel

Ditulis oleh Winda Anggriani dan telah terbit di tulisanda.blogspot.com pada 28 Juli 2011 pukul 21:40 WIB.
– –

Rangkasbitung, pasar, stasiun kereta api, musik underground, dan tahu. Apa hubungannya?

Dua puluh sembilan Juli dua ribu sebelas di Goethe Institut, Pusat Kebudayaan Jerman. Pukul tujuh malam, Forum Lenteng menggelar pertunjukkan perdana film berlabel Dongeng Rangkas. Tentang dua orang anak manusia, Kiwong dan Iron. Bekerja sama dengan Komunitas Saidjah Forum, film ini berusaha memaparkan situasi masyarakat Rangkasbitung dengan hiruk-pikuk di sekitarnya. Adakah sesuatu yang ingin diungkap dalam penggambaran visual ini?

Pasar, kereta api, dan penjual tahu menjadi benang merah yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari film bertajuk Dongeng Rangkas. Pasar dan kereta api, melatari hampir keseluruhan inti kisahan yang ingin disampaikan kepada penonton. Lalu proses pembuatan tahu sampai upaya menjajakannya kepada pembeli, menjadi daya tarik tersendiri yang tidak bisa dilepaskan dari rutinitas dua tokoh sentral ini. Hal yang stereotip diketahui masyarakat awam mengenai masyarakat setempat, coba diungkap lebih mendalam dan menjadi “sesuatu” yang berbeda—sebagai wacana baru—bagi penonton yang belum atau sudah tahu tentang Rangkasbitung.

Lanjut Baca

Artikel ini telah terbit dalam notes facebook, Fesbuk Banten News pada Kamis, 9 Agustus 2011 pukul 04:33 WIB
– –

FESBUK BANTEN News – Secara kultur, Rangkas punya ciri khas.  Warganya cenderung berkarakter keras, lugas dan tegas (untuk tidak mengatakan kasar). Dari berbagai literatur yang ada, sesungguhnya peradaban Rangkas telah dibangun jauh sebelum Multatuli mencatatnya dalam buku yang monumental.

Di sana pernah hidup beberapa tokoh pergerakan. Sebut  saja misalnya Tan Malaka. Letaknya yang tak lebih dari 120 Kilometer dari ibukota Jakarta, tak membuat  Kabupaten yang dituliskan Multatuli itu tumbuh menjadi kota metropolis.

Di Rangkas, seakan tengah terjadi benturan budaya, antara kapitalisme yang metropolis, dengan sisa-sisa peradaban mistis yang tradisionalis dan metafisis. Dongeng Rangkas berhasil merangkum benturan budaya itu dalam dua sosok tukang tahu, yang sederhana, pekerja keras, namun punya mimpi dan kebebasan.

Lanjut Baca

Oleh Amalia Sekarjati
Telah terbit di filmindonesia.or.id pada Kamis, 04 Agustus 2011.
– –

Dalam rangka ulang tahun ke-8, Forum Lenteng memutar film Dongeng Rangkaspada Kamis, 28 Juli 2011 di Goethe Haus, Jakarta. Film yang diputar merupakan bagian dari AKUMASSA, program peningkatan kapasitas komunitas melalui pendidikan media sebagai bagian dari pengembangan diri dan masyarakat sekitar. Program ini diprakarsai Forum Lenteng, organisasi nirlaba pengembangan studi sosial-budaya, bekerja sama dengan 10 jaringan komunitas yang mereka dampingi di beberapa daerah.

Film Dongeng Rangkas berkisah tentang Iron dan Kiwong, dua pemuda Rangkasbitung yang memilih hidup sebagai pedagang tahu tetapi tetap memegang teguh mimpi-mimpinya. Film dokumenter berdurasi 75 menit ini merupakan produksi bersama Forum Lenteng dengan Saidjah Forum, sebuah komunitas di Rangkasbitung, Lebak. Ini merupakan kali kedua mereka bekerja sama.

Lanjut Baca

Resensi oleh Makbul Mubarak
Telah terbit di Cinema Poetica pada 30 Juli 2011 (16:16)
– –

 

[1] Forum Lenteng adalah organisasi nirlaba egaliter sebagai sarana pengembangan studi sosial dan budaya. Bermarkas di Jakarta. Lihat http://home.forumlenteng.org/
informasi/

Penting bagi Forum Lenteng[1] untuk melibatkan banyak orang dalam mengolah medium yang bisa dilihat banyak orang. Sebagai bagian dari visi tersebut, dokumenter Dongeng Rangkas dibuat. Ia memotret terik-gigil kehidupan di kota kecil Rangkasbitung, 120 km dari Jakarta.  Selain bingkai konseptualnya sebagai penyedot partisipasi masyarakat dalam permediaan, Dongeng Rangkas juga menyertakan komponen praktikalnya, sebagai pemotret ruang pinggiran setelah 10 tahun Suharto lengser; detik yang diyakini sebagai penanda perubahan di segala lini.

Dongeng Rangkas mengikuti dua orang pedagang tahu, Iron dan Kiwong, dalam keseharian mereka tanpa drama dan ambisi, berangkat kerja, pulang ke rumah, berulang kali. Bila dicatat, maka baris paling atas dalam catatan kita atas Dongeng Rangkas adalah bagaimana kamera tak mau kendur dari lekatannya pada kedua subjek, padahal film yang bersangkutan dirancang untuk bicara tentang ruang dan pergeseran kesejarahannya. Dalam memotret ruang, Dongeng Rangkas tidak lantas menampilkan gambar ruang melainkan memungut repihannya dari orang-orang yang mendiami ruangan itu.

Lanjut Baca

Ditulis oleh Ronny Agustinus
Telah terbit di Jurnal Footage pada Jumat, 29 Juli 2011 (12:20)

– –

Pada 28 Juli 2011, di GoetheHaus, saya menonton pemutaran perdana filem feature dokumenter Dongeng Rangkas (2011), produksi bersama Forum Lenteng (Depok) dengan Saidjah Forum (Lebak), yang merupakan salah satu output dari program pemberdayaan komunitas Akumassa yang dijalankan oleh Forum Lenteng. Film ini menyoroti kehidupan dua orang pedagang tahu di Rangkasbitung. Iron menjual tahu mentah (oncom serta bahan berkedelai lainnya) di pasar. Sementara Kiwong berjualan tahu goreng di kereta.

POSTER-DONGENGRANGKAS-footage

Saya hanya bisa menyarankan: tontonlah filem ini. Anda akan mendapati potret tentang realitas sosial (sekelumit) rakyat miskin Indonesia yang takkan tertayang dalam reality show atau berita-berita televisi. Kemiskinan, lazimnya, selalu ditampilkan hitam putih. Dalam program “Andai Aku Menjadi” umpamanya. Dengan dalih “mulia” untuk mengundang empati terhadap realitas sosial, program ini justru mereduksi gambaran tentang realitas sosial itu sendiri dengan formula yang selalu diulang-ulang (air mata yang dikucurkan si mahasiswa/i yang ditempatkan selama beberapa hari dalam kehidupan riil orang-orang desa atau tak berpunya) dan terutama, sikap yang menggantikan proyek emansipasi dengan kedermawanan (ketika pada akhir setiap episode selalu ada sumbangan bagi si miskin dari dermawan-dermawan kota dan kini gantian si miskin yang mengucurkan air mata). Ini, sebenarnya, tak lebih dari perpanjangan imajinasi orang kota tentang cara menjalani hidup sebagai orang miskin: serba susah, namun tetap jujur dan ikhlas, sebagaimana diilustrasikan oleh lagu D’Masiv “Jangan Menyerah” yang menjadi soundtrack program ini. Tak pernah orang miskin dalam program macam ini ditampilkan menipu atau mencuri. Padahal sebaliknya, dalam persepsi umum masyarakat kota, bersemayam suatu pandangan laten bahwa kriminalitas erat hubungannya dengan kondisi kemiskinan. Inilah yang disebut oleh sosiolog sebagai elite perceptions of the poor, kedua pandangan itu berkelindan seperti kedua sisi mata uang (Abram de Swaan, 2005).

Lanjut Baca