Arsip
Tag "Kontribusi"

Telah terbit di situs Saidjah Forum pada 27 September 2011.


 

Mereka dibawa dengan bus-bus dari penginapan kota Paju. Berhenti dibawah Jembatan layang, dekat Gedung kecil yang memiliki lorong pemeriksaan. Kami berkumpul. Berjalan memasuki lorong pemeriksaan dengan menunjukan ID berwarna merah dengan pelat biru di atas. Terlihat pelataran dalam gedung banyak didapat pagar kawat berduri disisipi pos-pos penjagaan sepanjang peglihatan.

Dirjen musik kemiliteran, bertopi, berpakaian merah, membawa alat musik, muncul dari sisi gedung. Mereka langsung saja memainkan musik penyambutan ala militer dengan penuh semangat. Para sutradara enggan membiarkan peristiwa itu lewat begitu saja. Jepretan kamera sana-sini seolah ingin membuktikan kebenaran yang dia tangkap oleh lensa kamera mereka diwaktu senja saat cara akan dibuka.

Lanjut Baca

Telah ditulis oleh Asep Topan dalam blog pribadinya di aseptopan.tumblr.com, pada 10 September 2011.

– –
Tepat dua hari yang lalu, tanggal 9 September 2011, saya berangkat ke kampus dengan tujuan menonton film di Kineforum, selain bersilaturahmi dengan teman-teman pasca lebaran Idul Fitri. Film yang rencananya akan saya tonton berjudul Dongeng Rangkas, diputar mulai jam 19.30 WIB. Ternyata selain film Dongeng Rangkas tersebut, ada satu lagi film yang diputar di Kineforum hari ini, berjudul Die Konferenz der Tiere yang dalam bahasa Inggris berarti Animal United. Film ini mulai diputar pada jam 17.00 WIB.

Tulisan saya kali ini lebih kurang akan membahas kedua film tersebut. Pertama, film Dongeng Rangkas. Film ini adalah produksi Forum Lenteng yang bekerjasama dengan Komunitas Saidjah Forum, Lebak dan disutradarai oleh Andang Kelana, Badrull “Rob” Munir, Fuad Fauji, Hafiz serta Syaiful Anwar. Dongeng Rangkas menceritakan aktivitas-aktivitas masyarakat Rangkasbitung, diwakili oleh dua orang penjual tahu yaitu Kiwong dan Iron. Keseharian mereka sebagai penjual tahu banyak terlihat dalam film ini, namun yang lebih menarik ialah sisi lain dari kehidupan mereka selain pekerjaannya tersebut. Kiwong selalu bermimpi menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya, bersama keluarganya. Kiwong banyak menceritakan mengenai masa lalunya yang, dikatakan kelam setelah pindah ke Jakarta terutama kebasaan mabuknya yang tidak dapat ia tahan meskipun ia sebelumnya seorang santri, sebelum bekerja di Jakarta. Namun setelah ia menikah, kehidupannya berangsur-angsur membaik dan ia sangat mensyukuri pekerjaanya saat ini sebagai penjual tahu di kereta api. Sedangkan Iron, lebih tepat dikatakan sebagai pengrajin tahu daripada penjual tahu, karena ia memiliki pabrik tahu dan memproduksi tahu sendiri, sebagai usaha turun temurun dari keluarganya selain menjualnya di pasar. Sedangkan istrinya berjualan tauge dan tempe di pasar yang sama. Selain berjualan tahu, Iron memiliki kegiatan yang telah ia lakoni sejak tahun 1998 yaitu bermain musik underground. Ia memiliki sebuah band beraliran Grindcore bernama Monster, bersama dua orang teman lainnya. Iron percaya bahwa musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia terus bermain musik underground dengan dasar kepuasan nuraninya ketika bermain musik, sehingga ia tidak pernah punya niat untuk menjual musiknya tersebut.

Lanjut Baca

Ditulis oleh Sundea dan telah terbit di http://www.salamatahari.com/ pada 15 September 2011.

Judul: Dongeng Rangkas (film dokumenter)
Film Produksi Bersama: Forum Lenteng, Akumassa, dan Saidjah Forum
Kolaborasi penyutradaraan: Andang Kelana, Badrul “Rob” Munir, Fuad Fauji, Hafiz, Syaiful Anwar
Follow twitter: @DongengRangkas

 


Di atas meja makan saya, bertumpuk benda entah apa yang dibungkus kertas koran.

“Wow, apaan, nih?” tanya saya pada Mbak yang bekerja di rumah.
“Mungkin tahu. Tadi ada yang ke sini bawa keranjang tahu, saya nggak kenal,” sahut Si Mbak.
“Orangnya nggak bilang apa-apa?” tanya saya lagi.
Mbak mencoba mengingat-ingat.
“Katanya … ini Dongeng Rangkas. Tapi saya juga nggak ngertilah,” sahut Mbak akhirnya.
Saya mengangguk-angguk.

Ketika Mbak pergi menyiram tanaman, saya menimang salah satu bungkusan tersebut. “Iya, nih, isinya tahu,” gumam saya. Membungkus tahu per tahu dengan koran sungguh kurang kerjaan adanya. Tapi … ya sudahlah, lumayan juga kan ada cemilan sore-sore.

Lanjut Baca

Ditulis oleh Winda Anggriani dan telah terbit di tulisanda.blogspot.com pada 28 Juli 2011 pukul 21:40 WIB.
– –

Rangkasbitung, pasar, stasiun kereta api, musik underground, dan tahu. Apa hubungannya?

Dua puluh sembilan Juli dua ribu sebelas di Goethe Institut, Pusat Kebudayaan Jerman. Pukul tujuh malam, Forum Lenteng menggelar pertunjukkan perdana film berlabel Dongeng Rangkas. Tentang dua orang anak manusia, Kiwong dan Iron. Bekerja sama dengan Komunitas Saidjah Forum, film ini berusaha memaparkan situasi masyarakat Rangkasbitung dengan hiruk-pikuk di sekitarnya. Adakah sesuatu yang ingin diungkap dalam penggambaran visual ini?

Pasar, kereta api, dan penjual tahu menjadi benang merah yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari film bertajuk Dongeng Rangkas. Pasar dan kereta api, melatari hampir keseluruhan inti kisahan yang ingin disampaikan kepada penonton. Lalu proses pembuatan tahu sampai upaya menjajakannya kepada pembeli, menjadi daya tarik tersendiri yang tidak bisa dilepaskan dari rutinitas dua tokoh sentral ini. Hal yang stereotip diketahui masyarakat awam mengenai masyarakat setempat, coba diungkap lebih mendalam dan menjadi “sesuatu” yang berbeda—sebagai wacana baru—bagi penonton yang belum atau sudah tahu tentang Rangkasbitung.

Lanjut Baca

Artikel ini telah terbit dalam notes facebook, Fesbuk Banten News pada Kamis, 9 Agustus 2011 pukul 04:33 WIB
– –

FESBUK BANTEN News – Secara kultur, Rangkas punya ciri khas.  Warganya cenderung berkarakter keras, lugas dan tegas (untuk tidak mengatakan kasar). Dari berbagai literatur yang ada, sesungguhnya peradaban Rangkas telah dibangun jauh sebelum Multatuli mencatatnya dalam buku yang monumental.

Di sana pernah hidup beberapa tokoh pergerakan. Sebut  saja misalnya Tan Malaka. Letaknya yang tak lebih dari 120 Kilometer dari ibukota Jakarta, tak membuat  Kabupaten yang dituliskan Multatuli itu tumbuh menjadi kota metropolis.

Di Rangkas, seakan tengah terjadi benturan budaya, antara kapitalisme yang metropolis, dengan sisa-sisa peradaban mistis yang tradisionalis dan metafisis. Dongeng Rangkas berhasil merangkum benturan budaya itu dalam dua sosok tukang tahu, yang sederhana, pekerja keras, namun punya mimpi dan kebebasan.

Lanjut Baca

Oleh Amalia Sekarjati
Telah terbit di filmindonesia.or.id pada Kamis, 04 Agustus 2011.
– –

Dalam rangka ulang tahun ke-8, Forum Lenteng memutar film Dongeng Rangkaspada Kamis, 28 Juli 2011 di Goethe Haus, Jakarta. Film yang diputar merupakan bagian dari AKUMASSA, program peningkatan kapasitas komunitas melalui pendidikan media sebagai bagian dari pengembangan diri dan masyarakat sekitar. Program ini diprakarsai Forum Lenteng, organisasi nirlaba pengembangan studi sosial-budaya, bekerja sama dengan 10 jaringan komunitas yang mereka dampingi di beberapa daerah.

Film Dongeng Rangkas berkisah tentang Iron dan Kiwong, dua pemuda Rangkasbitung yang memilih hidup sebagai pedagang tahu tetapi tetap memegang teguh mimpi-mimpinya. Film dokumenter berdurasi 75 menit ini merupakan produksi bersama Forum Lenteng dengan Saidjah Forum, sebuah komunitas di Rangkasbitung, Lebak. Ini merupakan kali kedua mereka bekerja sama.

Lanjut Baca

Resensi oleh Makbul Mubarak
Telah terbit di Cinema Poetica pada 30 Juli 2011 (16:16)
– –

 

[1] Forum Lenteng adalah organisasi nirlaba egaliter sebagai sarana pengembangan studi sosial dan budaya. Bermarkas di Jakarta. Lihat http://home.forumlenteng.org/
informasi/

Penting bagi Forum Lenteng[1] untuk melibatkan banyak orang dalam mengolah medium yang bisa dilihat banyak orang. Sebagai bagian dari visi tersebut, dokumenter Dongeng Rangkas dibuat. Ia memotret terik-gigil kehidupan di kota kecil Rangkasbitung, 120 km dari Jakarta.  Selain bingkai konseptualnya sebagai penyedot partisipasi masyarakat dalam permediaan, Dongeng Rangkas juga menyertakan komponen praktikalnya, sebagai pemotret ruang pinggiran setelah 10 tahun Suharto lengser; detik yang diyakini sebagai penanda perubahan di segala lini.

Dongeng Rangkas mengikuti dua orang pedagang tahu, Iron dan Kiwong, dalam keseharian mereka tanpa drama dan ambisi, berangkat kerja, pulang ke rumah, berulang kali. Bila dicatat, maka baris paling atas dalam catatan kita atas Dongeng Rangkas adalah bagaimana kamera tak mau kendur dari lekatannya pada kedua subjek, padahal film yang bersangkutan dirancang untuk bicara tentang ruang dan pergeseran kesejarahannya. Dalam memotret ruang, Dongeng Rangkas tidak lantas menampilkan gambar ruang melainkan memungut repihannya dari orang-orang yang mendiami ruangan itu.

Lanjut Baca

Ditulis oleh Ronny Agustinus
Telah terbit di Jurnal Footage pada Jumat, 29 Juli 2011 (12:20)

– –

Pada 28 Juli 2011, di GoetheHaus, saya menonton pemutaran perdana filem feature dokumenter Dongeng Rangkas (2011), produksi bersama Forum Lenteng (Depok) dengan Saidjah Forum (Lebak), yang merupakan salah satu output dari program pemberdayaan komunitas Akumassa yang dijalankan oleh Forum Lenteng. Film ini menyoroti kehidupan dua orang pedagang tahu di Rangkasbitung. Iron menjual tahu mentah (oncom serta bahan berkedelai lainnya) di pasar. Sementara Kiwong berjualan tahu goreng di kereta.

POSTER-DONGENGRANGKAS-footage

Saya hanya bisa menyarankan: tontonlah filem ini. Anda akan mendapati potret tentang realitas sosial (sekelumit) rakyat miskin Indonesia yang takkan tertayang dalam reality show atau berita-berita televisi. Kemiskinan, lazimnya, selalu ditampilkan hitam putih. Dalam program “Andai Aku Menjadi” umpamanya. Dengan dalih “mulia” untuk mengundang empati terhadap realitas sosial, program ini justru mereduksi gambaran tentang realitas sosial itu sendiri dengan formula yang selalu diulang-ulang (air mata yang dikucurkan si mahasiswa/i yang ditempatkan selama beberapa hari dalam kehidupan riil orang-orang desa atau tak berpunya) dan terutama, sikap yang menggantikan proyek emansipasi dengan kedermawanan (ketika pada akhir setiap episode selalu ada sumbangan bagi si miskin dari dermawan-dermawan kota dan kini gantian si miskin yang mengucurkan air mata). Ini, sebenarnya, tak lebih dari perpanjangan imajinasi orang kota tentang cara menjalani hidup sebagai orang miskin: serba susah, namun tetap jujur dan ikhlas, sebagaimana diilustrasikan oleh lagu D’Masiv “Jangan Menyerah” yang menjadi soundtrack program ini. Tak pernah orang miskin dalam program macam ini ditampilkan menipu atau mencuri. Padahal sebaliknya, dalam persepsi umum masyarakat kota, bersemayam suatu pandangan laten bahwa kriminalitas erat hubungannya dengan kondisi kemiskinan. Inilah yang disebut oleh sosiolog sebagai elite perceptions of the poor, kedua pandangan itu berkelindan seperti kedua sisi mata uang (Abram de Swaan, 2005).

Lanjut Baca