“Dongeng Rangkas” di ruangrupa Jakarta

Kamis, 25 Agustus 2011, diadakan pemutaran kedua untuk publik filem Dongeng Rangkas. Pemutaran ini berlangsung dalam suasana berbuka puasa. Tepat pukul 19.00WIB, sekitar 70-an penonton dipersilahkan masuk ke ruang RURU gallery untuk memulai pemutaran. Dibuka dengan pengantar oleh Hafiz (Ketua Forum Lenteng) yang mencerita ide dasar dari filem ini dan memperkenalkan para sutradara yang hadir; Syaiful Anwar, Andang Kelana dan Hafiz. Badrul Munir dan Fuad Fauji berhalangan hadir, karena sedang mengurus pemutaran Dongeng Rangkas di Rangkasbitung.

Suasana buka puasa

 

Suasana menonton "Dongeng Rangkas" di RURU Gallery

Saat pemutaran, ada banyak penonton yang datang terlambat dan tidak menonton filem ini dengan lengkap. Dari pembicaraan dengan beberapa penonton yang terlambat itu, mereka menduga pemutaran dimulai pada pukul 19.30 WIB.

Setelah pemutaran, sesi diskusi pun dimulai. Penanya pertama, Anggun Priambodo (sutradara/seniman video), menanyakan pilihan kota Rangkasbitung sebagai lokasi filem Dongeng Rangkas. Hal ini dijawab oleh Otty Widasari (koordinator program akumassa) yang menjelaskan bahwa pilihan Rangkasbitung adalah karena Forum Lenteng punya ikatan dengan situasi yang ada di sana. Ikatan itu berupa program akumassa yang telah dimulai oleh Forum Lenteng bekerjasama dengan Saidjah Forum di Kampung Muara, Rangkasbitung tiga tahun yang lalu. Catatan-catatan dari program akumassa—yang ditulis oleh kawan-kawan Saidjah Forum menjadi materi awal untuk riset yang lalu dikembangkan untuk filem ini.

Sesi diskusi di buka oleh Hafiz (paling kanan)

Suanasa diskusi setelah Pemutaran

Pertanyaan lain oleh Barjo, seorang mahasiswa Universitas Indonesia, tentang bagaimana hadirnya scene musik underground pada filem Dongeng Rangkas sebagai salah satu fenomena yang berakar pada periode 1990-an—bagaimana sebuah kota sekecil Rangkasbitung bisa tetap menyimpan musik metal dan begitu update dengan fenomena Metal Satu Jari. Hal ini ditanggapi oleh Indra Ameng (seniman/penggiat musik indie), bahwa justru hal inilah yang menarik dari filem Dongeng Rangkas yang bisa menghadirkan persinggungan berbagai fenomena tahun 1990-an dan saat ini (kontemporer). Menurut Ameng, fenomena sekarang tidaklah bisa dihindari, karena ia bisa masuk dari berbagai hal. Pilihan Iron di musik underground perlu diapresiasi, karena ia tetap bisa menjalani hidupnya sebagai pedagang tahu segar.

Ari Sendy a.k.a Jimged (fotografer/cameraman) menanyakan kepada para sutradara bagaimana “treatment” Dongeng Rangkas, karena filem ini dikerjakan oleh banyak orang (banyak sutradara)? Andang Kelana menjelaskan kerja produksi Dongeng Rangkas dimudahkan karena Forum Lenteng telah bekerja cukup lama dengan kawan-kawan Saidjah Forum. Tema yang diangkat pun, sudah tersedia dari tulisan dan rangkuman (berbasis teks) yang diproduksi oleh Komunitas Saidjah Forum. Hafiz menambahkan bahwa kerangka filem tentu telah disiapkan sebelum produksi dimulai (shooting). Namun, temuan-temuan lapangan selalu akan merubah konstruksi yang telah dibayangkan oleh para pembuat. Hal inilah yang menarik dari sebuah pembuatan dokumenter.

Syaiful Anwar, salah satu sutradara "Dongeng Rangkas"

Suasana diskusi

Dari kanan ke kiri, Anggun Priambodo, Ari Sendy (Jimged) dan Cholil Mahmud

Indra Ameng, paling kiri

Otty Widasari

Barjo, mahasiswa Universitas Indonesia (tengah)

Pada bagian terakhir diskusi, seorang penonton menanyakan tentang pesan moral pada filem Dongeng Rangkas, seperti rekaman pembubuhan MSG pada tahu-tahu goreng yang dijual Kiwong. Si penanya juga menanggapi arah filem ini, karena tidak fokus pada tokoh-tokohnya. Bagi Hafiz yang menjawab pertanyaan terakhir ini, menjelaskan bahwa filem Dongeng Rangkas bukanlah sebuah dokumenter biografi atau dokumenter perjalanan wisata, tapi sebuah dokumenter feature. Iron dan Kiwong yang menjadi tokoh pada filem ini, hanyalah salah satu cara untuk masuk dalam membingkai Rangkasbitung. Tentang pesan moral, baginya justru menghadirkan rekaman pembubuhan MSG itu menghadirkan kejernihan pesan, dan penonton diajak untuk memilih. Bagi Hafiz, sebuah dokumenter bukanlah filem yang menggurui, tapi ia punya dimensi sosial, politik dan budaya. Dari situlah kita dapat belajar.

Diskusi ditutup dengan penjelasan Andang Kelana tentang rencana pemutaran filem Dongeng Rangkas di Rangkasbitung dan Kineforum Jakarta, serta presentasi di DMZ Korean International Documentary Film Festival 2011, Korea Selatan.

 

GALERI FOTO

 

Foto: Andang Kelana

Kirim komentar